Dear Desember,
Maaf tak banyak berkisah padamu beberapa waktu belakangan. Terbentur kelelahan akibat aktivitas yang tak karuan.
Aku sungguh lelah saat ini, menghadapi berbagai kegilaan yang menghampar di depanku. Menyikapi sikap orang-orang yang sering membuat hatiku tak nyaman. Tak jarang muncul pertanyaan pada diriku sendiri mengenai apa salahku. Mengapa mereka memperlakukanku berbeda dengan yang lainnya?
Aku hanya ingin tenang, tanpa komentar menusuk. Sekali saja, baik di dunia maya maupun nyata. Telingaku sudah pekak oleh deru mobil dan sepeda motor di jalanan Jakarta. Mataku sudah penat dengan rentetan huruf pada kertas file yang kutekuni seharian penuh. Masih haruskah kudengar kalimat tak menyenangkan dan kubaca komentar yang membuat tidak nyaman?
Pernahkah aku sekali saja menyinggung mereka? Berkomentar sinis, mengritik pedas? Tidak, rasanya tidak pernah!
Aku pun tidak mengerti ketika tiba-tiba dengan baik hati mereka bersikap peduli padaku dan memberiku semangat...
Ahh, hubunganku dengan mereka memang berbeda, tak akan sama. Sampai akhirnya aku yang harus memilih menelan apapun yang kurasakan dalam diam. Meredam ketidaknyamanan dengan mengabaikan.
Aku pun lelah belajar secara formal. Tak mengerti manfaatnya secara langsung dalam duniaku. Mungkin kini aku menjadi bodoh menghadapi kompleksitas materi ini. Atau mungkin ada hal lain yang memagut hati sehingga ketertarikanku pada pelajaran tak sebesar dulu. Hanya saja berada di jalur ini adalah pilihanku, setidaknya aku harus menyelesaikan proses ini sampai wisuda. Sekalipun hempasan yang kuterima dalam menjalani ini lebih dari amukan badai di tengah samudera. Padahal aku kini baru lah sekoci kecil yang terapung.
Yah, hanya pelukan Allah Subhanahuwata'ala yang membuat sekoci ini tetap terapung di air tanpa hancur, mungkin hanya luka akibat terpaan badai yang keterlaluan.
Aku semakin lelah ketika bicara mengenai satu sikap yang kupilih. Aku ingin menjadi seperti Gie dengan idealismenya. Aku tak peduli bahwa Gie adalah seorang atheis, bagiku ia manusia yang jujur dan manusia yang berperilaku manusiawi. Hatinya bersih dan otaknya jalan. Ia memilih diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Bagitu pun aku, sekitar enam bulan lalu dengan tegas kutolak permintaan bergabung di sebuah wadah tertentu karena tempat itu merupakan ajang kaderisasi suatu golongan.
Bukan masalah aku anti terhadap golongan itu, aku hanya benci melihat caranya memunculkan kader. Itu pembodohan! Memaksakan orang menjadi satu pandangan tanpa pendidikan menyeluruh, tanpa proses dipahamkan secara utuh.
Kalau aku mau pragmatis, aku bisa saja berpura-pura setuju dengan apapun yang mereka katakan dan terlibat dalam apapun yang mereka lakukan. Jujur, banyak sekali kesempatan yang bisa kudapat karena konspirasi-konspirasi tersistem mereka. Nepotisme yang disajikan dengan bahasa lain.
Tapi aku tak mau pragmatis, biar saja aku dibenci atau diasingkan sebagaimana Gie tapi aku tidak ikut dalam proses cuci otak konyol itu! Aku tidak ikut menanamkan pemahaman pada orang lain tentang sesuatu yang entah benar, entah tidak. Ini urusan keyakinan dan hati, yang kutahu ini urusan berkaitan dengan Ilahi Rabbi.
Aku ingin adil, pada batas keadilan yang kumampu, seadil-adilnya. Tak mau menutup kesempatan orang lain hanya untuk orang-orang yang kuanggap berpemikiran sama. Kalau sudah ada arogansi golongan begitu, bagaimana dengan arogansi-arogansi lain???
Tidak bisakah kita memandang orang lain cukup sebagai manusia? Tanpa harus membawa-bawa suku, ras, agama, pendidikan, dan golongan? Mungkin memang tidak bisa sepenuhnya, tapi tidak bisakah kita sewajarnya saja, tidak berlebihan! Tidak sampai merugikan orang lain yang berbeda???
Aaah, mungkin memang aku yang terlalu polos dan naif...
Lelah! Memikirkan bagaimana pendapat mereka yang mungkin merasa kukhianati, padahal aku hanya jujur pada diriku sendiri. Namun, apa peduliku? Sebenarnya seberapa penting pendapat mereka tentang aku?
Sudahlah, Allah tahu yang terbaik. Cukup itu yang menjadi keyakinanku.
Sangat lelah dengan urusan hati yang dihinggapi kegalauan. Mungkin ini memang waktuku, sebagaimana gadis-gadis lain yang dijangkiti virus merah jambu. Aaaah, tapi kenapa harus aku? Jatuh hati bagiku hanya membuka peluang untuk patah hati. Sementara banyak hal lain yang membutuhkan hatiku. Jika hati ini patah bagaimana dengan hal-hal lain yang butuh hatiku ini?
Baru kusadari bahwa aku memang gadis biasa yang bahkan hatinya pun serapuh kaca. Kaca itu cantik, namun mudah sekali berubah karena sentuhan. Jika disentuh tangan yang kotor mudah sekali kaca kotor. Sebaliknya, jika disentuh tangan bersih kaca itu akan mangkilap dan semakin cantik. Sekarang, aku bahkan tidak tahu hatiku yang indah sedang dalam proses yang mana, semoga saja bukan dalam proses disentuh air panas atau dingin yang dengan mudah bisa membuatnya pecah. Semoga bukan pula di tengah bahaya tangan kasar yang bisa menjatuhkannya kapan saja sampai ia hancur. Mungkin lebih baik jika hatiku sekarang tersentuh oleh angin, ia mungkin membawa debu namun tak sampai meninggalkan bekas kotor yang parah, dengan mudah bisa dilap lagi agar kembali mengkilap.
Aaaaahh, haiku, semakin menambah kelelahanku...
Adzan Subuh berkumandang, saatnya menunjukkan penyerahan dengan gerakan fisik kepada-Nya...
lots of love
Rina
:)
Maaf tak banyak berkisah padamu beberapa waktu belakangan. Terbentur kelelahan akibat aktivitas yang tak karuan.
Aku sungguh lelah saat ini, menghadapi berbagai kegilaan yang menghampar di depanku. Menyikapi sikap orang-orang yang sering membuat hatiku tak nyaman. Tak jarang muncul pertanyaan pada diriku sendiri mengenai apa salahku. Mengapa mereka memperlakukanku berbeda dengan yang lainnya?
Aku hanya ingin tenang, tanpa komentar menusuk. Sekali saja, baik di dunia maya maupun nyata. Telingaku sudah pekak oleh deru mobil dan sepeda motor di jalanan Jakarta. Mataku sudah penat dengan rentetan huruf pada kertas file yang kutekuni seharian penuh. Masih haruskah kudengar kalimat tak menyenangkan dan kubaca komentar yang membuat tidak nyaman?
Pernahkah aku sekali saja menyinggung mereka? Berkomentar sinis, mengritik pedas? Tidak, rasanya tidak pernah!
Aku pun tidak mengerti ketika tiba-tiba dengan baik hati mereka bersikap peduli padaku dan memberiku semangat...
Ahh, hubunganku dengan mereka memang berbeda, tak akan sama. Sampai akhirnya aku yang harus memilih menelan apapun yang kurasakan dalam diam. Meredam ketidaknyamanan dengan mengabaikan.
Aku pun lelah belajar secara formal. Tak mengerti manfaatnya secara langsung dalam duniaku. Mungkin kini aku menjadi bodoh menghadapi kompleksitas materi ini. Atau mungkin ada hal lain yang memagut hati sehingga ketertarikanku pada pelajaran tak sebesar dulu. Hanya saja berada di jalur ini adalah pilihanku, setidaknya aku harus menyelesaikan proses ini sampai wisuda. Sekalipun hempasan yang kuterima dalam menjalani ini lebih dari amukan badai di tengah samudera. Padahal aku kini baru lah sekoci kecil yang terapung.
Yah, hanya pelukan Allah Subhanahuwata'ala yang membuat sekoci ini tetap terapung di air tanpa hancur, mungkin hanya luka akibat terpaan badai yang keterlaluan.
Aku semakin lelah ketika bicara mengenai satu sikap yang kupilih. Aku ingin menjadi seperti Gie dengan idealismenya. Aku tak peduli bahwa Gie adalah seorang atheis, bagiku ia manusia yang jujur dan manusia yang berperilaku manusiawi. Hatinya bersih dan otaknya jalan. Ia memilih diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Bagitu pun aku, sekitar enam bulan lalu dengan tegas kutolak permintaan bergabung di sebuah wadah tertentu karena tempat itu merupakan ajang kaderisasi suatu golongan.
Bukan masalah aku anti terhadap golongan itu, aku hanya benci melihat caranya memunculkan kader. Itu pembodohan! Memaksakan orang menjadi satu pandangan tanpa pendidikan menyeluruh, tanpa proses dipahamkan secara utuh.
Kalau aku mau pragmatis, aku bisa saja berpura-pura setuju dengan apapun yang mereka katakan dan terlibat dalam apapun yang mereka lakukan. Jujur, banyak sekali kesempatan yang bisa kudapat karena konspirasi-konspirasi tersistem mereka. Nepotisme yang disajikan dengan bahasa lain.
Tapi aku tak mau pragmatis, biar saja aku dibenci atau diasingkan sebagaimana Gie tapi aku tidak ikut dalam proses cuci otak konyol itu! Aku tidak ikut menanamkan pemahaman pada orang lain tentang sesuatu yang entah benar, entah tidak. Ini urusan keyakinan dan hati, yang kutahu ini urusan berkaitan dengan Ilahi Rabbi.
Aku ingin adil, pada batas keadilan yang kumampu, seadil-adilnya. Tak mau menutup kesempatan orang lain hanya untuk orang-orang yang kuanggap berpemikiran sama. Kalau sudah ada arogansi golongan begitu, bagaimana dengan arogansi-arogansi lain???
Tidak bisakah kita memandang orang lain cukup sebagai manusia? Tanpa harus membawa-bawa suku, ras, agama, pendidikan, dan golongan? Mungkin memang tidak bisa sepenuhnya, tapi tidak bisakah kita sewajarnya saja, tidak berlebihan! Tidak sampai merugikan orang lain yang berbeda???
Aaah, mungkin memang aku yang terlalu polos dan naif...
Lelah! Memikirkan bagaimana pendapat mereka yang mungkin merasa kukhianati, padahal aku hanya jujur pada diriku sendiri. Namun, apa peduliku? Sebenarnya seberapa penting pendapat mereka tentang aku?
Sudahlah, Allah tahu yang terbaik. Cukup itu yang menjadi keyakinanku.
Sangat lelah dengan urusan hati yang dihinggapi kegalauan. Mungkin ini memang waktuku, sebagaimana gadis-gadis lain yang dijangkiti virus merah jambu. Aaaah, tapi kenapa harus aku? Jatuh hati bagiku hanya membuka peluang untuk patah hati. Sementara banyak hal lain yang membutuhkan hatiku. Jika hati ini patah bagaimana dengan hal-hal lain yang butuh hatiku ini?
Baru kusadari bahwa aku memang gadis biasa yang bahkan hatinya pun serapuh kaca. Kaca itu cantik, namun mudah sekali berubah karena sentuhan. Jika disentuh tangan yang kotor mudah sekali kaca kotor. Sebaliknya, jika disentuh tangan bersih kaca itu akan mangkilap dan semakin cantik. Sekarang, aku bahkan tidak tahu hatiku yang indah sedang dalam proses yang mana, semoga saja bukan dalam proses disentuh air panas atau dingin yang dengan mudah bisa membuatnya pecah. Semoga bukan pula di tengah bahaya tangan kasar yang bisa menjatuhkannya kapan saja sampai ia hancur. Mungkin lebih baik jika hatiku sekarang tersentuh oleh angin, ia mungkin membawa debu namun tak sampai meninggalkan bekas kotor yang parah, dengan mudah bisa dilap lagi agar kembali mengkilap.
Aaaaahh, haiku, semakin menambah kelelahanku...
Adzan Subuh berkumandang, saatnya menunjukkan penyerahan dengan gerakan fisik kepada-Nya...
lots of love
Rina
:)