duniarina

duniarina
tak menyerah meski terseok

Minggu, 11 Desember 2011

Lelah

Dear Desember,

Maaf tak banyak berkisah padamu beberapa waktu belakangan. Terbentur kelelahan akibat aktivitas yang tak karuan.
Aku sungguh lelah saat ini, menghadapi berbagai kegilaan yang menghampar di depanku. Menyikapi sikap orang-orang yang sering membuat hatiku tak nyaman. Tak jarang muncul pertanyaan pada diriku sendiri mengenai apa salahku. Mengapa mereka memperlakukanku berbeda dengan yang lainnya?
Aku hanya ingin tenang, tanpa komentar menusuk. Sekali saja, baik di dunia maya maupun nyata. Telingaku sudah pekak oleh deru mobil dan sepeda motor di jalanan Jakarta. Mataku sudah penat dengan rentetan huruf pada kertas file yang kutekuni seharian penuh. Masih haruskah kudengar kalimat tak menyenangkan dan kubaca komentar yang membuat tidak nyaman?

Pernahkah aku sekali saja menyinggung mereka? Berkomentar sinis, mengritik pedas? Tidak, rasanya tidak pernah!
Aku pun tidak mengerti ketika tiba-tiba dengan baik hati mereka bersikap peduli padaku dan memberiku semangat...
Ahh, hubunganku dengan mereka memang berbeda, tak akan sama. Sampai akhirnya aku yang harus memilih menelan apapun yang kurasakan dalam diam. Meredam ketidaknyamanan dengan mengabaikan.


Aku pun lelah belajar secara formal. Tak mengerti manfaatnya secara langsung dalam duniaku. Mungkin kini aku menjadi bodoh menghadapi kompleksitas materi ini. Atau mungkin ada hal lain yang memagut hati sehingga ketertarikanku pada pelajaran tak sebesar dulu. Hanya saja berada di jalur ini adalah pilihanku, setidaknya aku harus menyelesaikan proses ini sampai wisuda. Sekalipun hempasan yang kuterima dalam menjalani ini lebih dari amukan badai di tengah samudera. Padahal aku kini baru lah sekoci kecil yang terapung.
Yah, hanya pelukan Allah Subhanahuwata'ala yang membuat sekoci ini tetap terapung di air tanpa hancur, mungkin hanya luka akibat terpaan badai yang keterlaluan.


Aku semakin lelah ketika bicara mengenai satu sikap yang kupilih. Aku ingin menjadi seperti Gie dengan idealismenya. Aku tak peduli bahwa Gie adalah seorang atheis, bagiku ia manusia yang jujur dan manusia yang berperilaku manusiawi. Hatinya bersih dan otaknya jalan. Ia memilih diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Bagitu pun aku, sekitar enam bulan lalu dengan tegas kutolak permintaan bergabung di sebuah wadah tertentu karena tempat itu merupakan ajang kaderisasi suatu golongan.
Bukan masalah aku anti terhadap golongan itu, aku hanya benci melihat caranya memunculkan kader. Itu pembodohan! Memaksakan orang menjadi satu pandangan tanpa pendidikan menyeluruh, tanpa proses dipahamkan secara utuh.
Kalau aku mau pragmatis, aku bisa saja berpura-pura setuju dengan apapun yang mereka katakan dan terlibat dalam apapun yang mereka lakukan. Jujur, banyak sekali kesempatan yang bisa kudapat karena konspirasi-konspirasi tersistem mereka. Nepotisme yang disajikan dengan bahasa lain.
Tapi aku tak mau pragmatis, biar saja aku dibenci atau diasingkan sebagaimana Gie tapi aku tidak ikut dalam proses cuci otak konyol itu! Aku tidak ikut menanamkan pemahaman pada orang lain tentang sesuatu yang entah benar, entah tidak. Ini urusan keyakinan dan hati,  yang kutahu ini urusan berkaitan dengan Ilahi Rabbi.

Aku ingin adil, pada batas keadilan yang kumampu, seadil-adilnya. Tak mau menutup kesempatan orang lain hanya untuk orang-orang yang kuanggap berpemikiran sama. Kalau sudah ada arogansi golongan begitu, bagaimana dengan arogansi-arogansi lain???
Tidak bisakah kita memandang orang lain cukup sebagai manusia? Tanpa harus membawa-bawa suku, ras, agama, pendidikan, dan golongan? Mungkin memang tidak bisa sepenuhnya, tapi tidak bisakah kita sewajarnya saja, tidak berlebihan! Tidak sampai merugikan orang lain yang berbeda???
Aaah, mungkin memang aku yang terlalu polos dan naif...

Lelah! Memikirkan bagaimana pendapat mereka yang mungkin merasa kukhianati, padahal aku hanya jujur pada diriku sendiri. Namun, apa peduliku? Sebenarnya seberapa penting pendapat mereka tentang aku?
Sudahlah, Allah tahu yang terbaik. Cukup itu yang menjadi keyakinanku.


Sangat lelah dengan urusan hati yang dihinggapi kegalauan. Mungkin ini memang waktuku, sebagaimana gadis-gadis lain yang dijangkiti virus merah jambu. Aaaah, tapi kenapa harus aku? Jatuh hati bagiku hanya membuka peluang untuk patah hati. Sementara banyak hal lain yang membutuhkan hatiku. Jika hati ini patah bagaimana dengan hal-hal lain yang butuh hatiku ini?

Baru kusadari bahwa aku memang gadis biasa yang bahkan hatinya pun serapuh kaca. Kaca itu cantik, namun mudah sekali berubah karena sentuhan. Jika disentuh tangan yang kotor mudah sekali kaca kotor. Sebaliknya, jika disentuh tangan bersih kaca itu akan mangkilap dan semakin cantik. Sekarang, aku bahkan tidak tahu hatiku yang indah sedang dalam proses yang mana, semoga saja bukan dalam proses disentuh air panas atau dingin yang dengan mudah bisa membuatnya pecah. Semoga bukan pula di tengah bahaya tangan kasar yang bisa menjatuhkannya kapan saja sampai ia hancur. Mungkin lebih baik jika hatiku sekarang tersentuh oleh angin, ia mungkin membawa debu namun tak sampai meninggalkan bekas kotor yang parah, dengan mudah bisa dilap lagi agar kembali mengkilap.
Aaaaahh, haiku, semakin menambah kelelahanku...


Adzan Subuh berkumandang, saatnya menunjukkan penyerahan dengan gerakan fisik kepada-Nya...
lots of love
Rina
:)

Kamis, 01 Desember 2011

Kisah Nana dan Maman

Dear Desember,
Biar kukisahkan padamu mengenai cerita dua orang yang hampir setengah harian menghabiskan waktu bersama. Pada cerita ini, Maman adalah orang yang sangat terkenal hebat, sementara Nana bukanlah siapa-siapa. Mereka dipertemukan oleh Tuhan dalam sebuah organisasi. Singkat cerita, Nana merasa tidak nyaman pada organisasi yang diikutinya. Maka ia memutuskan untuk mundur. Pada hari terakhir ia memutuskan untuk mundur, ia ingin melakukan bakti terakhir untuk organisasi itu.

Satu-satunya tugas yang bisa ditemuinya adalah menemani si Maman, sang ketua, pergi ke sebuah stasiun TV untuk wawancara. Mereka pun berangkat dengan taksi dan terjebak macet di tol sangat lama. Nana, sungguh canggung menghadapi hal ini. Dia merasa tidak layak duduk berdua dengan si Maman yang terkenal kehebatannya di mana-mana. Namun, ia tenang, cukup tenang. Memperhatikan si Maman yang sering mendapatkan telepon-telepon penting. Nana menghela nafas. "Oh begini kehidupannya..." gumamnya dalam hati. Representatif untuk menggambarkan kebiasaan petinggi-petinggi negeri ini.

Nana pun tidur karena mengantuk dan tak tahu harus melakukan apa di dalam taksi itu. Sesampainya di stasiun TV bersangkutan, Nana hanya menunggu gadget-gadget Maman, dan menggerutu dalam hati, "memang aku asisten pribadimu? Lebih baik belajar di kosan."

Namun toh sudah terlanjur, usai syuting yang cuma beberapa menit itu, mereka makan. Berceritalah Maman dan salah satu rekannya, yang juga manajer Nana, tentang sebuah acara yang sedang mereka kerjakan. Miris, banyak juga yang melakukan kecurangan. Yah, Nana hanya menanggapi sesekali dan terus menggumam dalam hati. "Negeriku oh negeriku..."

Pulangnya mereka kembali naik taksi dilanjutkan dengan naik kereta. Nana begitu tersiksa berada dalam kereta yang sangat penuh itu. Bahkan ketika naik, Maman sampai harus menarik tangannya. Yah menyiksa!

Sekian.
2 Desember 2011

Rabu, 30 November 2011

Bukan untuk Dimengerti: Sebuah Perkenalan Awal

Dear Desember,
Dua puluh tahun sudah kutapaki hari di dunia ini. Menatap dunia dengan kepolosanku yang sering konyol kalau tak mau menyebutnya bodoh. Merasakan rentanya bumi berdasarkan ketidaklogisan yang sering kutemui. Melewati berbagai peristiwa dari yang gila dan konyol nan memalukan, sedih sakit tak terperi, bahagia berbunga-bunga tak terkira, sampai yang menggalaukan hati. Semua yang kulalui tentu memegang peranan amat penting sehingga jadi aku yang seperti ini.

Aku yang seperti ini? Ya, aku saat ini. Bagaimanakah itu? Bahkan aku sendiri sulit menjelaskannya. Namun satu hal yang pasti, aku tak mudah dipahami. Tak ada satu orang pun yang mengerti baik diriku dan segala hal tentangku. Kadang aku lelah dan ingin memberi tahu tentang diriku. Hanya saja rasanya akan percuma. Kalau orang lain tahu, lalu mengapa? Tak ada efeknya...


Maka aku memilih memberi tahu tentang diriku di sini. Menuangkan apa yang ingin kutuangkan, menceritakan kisah yang menyesakkan kepada sang waktu. Sehingga aku tak perlu takut membebani siapapun. Tak perlu merasa khawatir kalau-kalau ada yang terganggu. Cukup dengan menjaga pilihan kata, itu saja.

Yah, media ini benar-benar menjadi pilihan. Ketika banyak sekali hal ingin kujelaskan, tapi bahkan pita suaraku tak sedikit pun memproduksi getaran dan lidahku enggan merangkai fonem-fonem dengan sempurna hingga membentuk kata-kata. Akan tetapi di sini, jemariku lincah menari. Mentransfer semua cerita yang memenuhi hati.

Mungkin bisa begitu, karena ketika berkata-kata aku harus didengar oleh berpasang-pasang telinga dari orang yang berbeda-beda. Memunculkan tanggapan yang berbeda-beda pula tentunya. Tanggapan itu lah yang justru sering menambah bebanku, bukannya meringankan. Aku butuh saran itu pasti, namun tidak melulu tanggapan menjatuhkan bisa membuat perasaanku tenteram-tenteram saja.

Lebih-lebih jika tanggapa itu begitu jauh mencampuri tanpa sebenarnya mereka benar-benar mengetahui. Dan memang lebih sering begitu, orang tidak tahu, hanya sok tahu. Orang lain tidak mengerti, tidak menyaksikan aku tumbuh selama 20 tahun ini. Tidak tahu seberapa dalam hal-hal yang kualami. Namun tetap mereka sok mengerti. Menyebalkan saja rasanya, karena bagiku, hidupku adalah otoritasku. Tergantung pada diriku sendiri dan Tuhan-ku. Tak bisa diatur hanya bisa dipengaruhi oleh yang lain. Sampai saat ini yang bisa kusebut sebagai yang lain itu hanya orang tuaku dan sahabatku. Mungkin kelak akan ada suamiku, tapi entah kapan itu. :P


Celotehku di atas pasti menggambarkan seolah aku begitu ingin dimengerti dengan menyebut "orang lain selama ini hanya sok mengerti". Sebenarnya bukan begitu, aku pun tidak butuh dimengerti. Hanya saja, aku tak terlalu suka dicampuri jika aku tak meminta. Aku saja sulit mengerti benar tentang diriku sendiri, untuk apa aku mengharapkan orang lain mengertiku? Aku tahu itu sulit. Aku ada bukan untuk dimengerti, aku hanya ada untuk diberi kesempatan melakukan eksperimen-eksperimen kehidupan demi menjadi diriku yang lebih baik lagi. Tuntun aku jika keliru, tegur aku jika salah jalanku. Namun jangan urusi aku jika memang kalian tidak tahu aku, jangan masuk dalam zonaku kalau memang kalian tidak terganggu dengan itu.


Biarkan aku berkawan karib dengan sendiriku atau mencurahkan semuanya pada sang waktu. Karena kadang Ilahi yang paling mengertiku hanya memberikan media berupa waktu untuk menghilangkan gundah-gulanaku. Biarkan aku tetap di sini, merangkai cerita indahku bersama ayunan jariku di atas keyboard. Bersama musik yang mengalun dari playlist winampku. Mungkin sejenak, aku butuh tidak menerima masukan apapun, aku butuh menuangkan dan menuangkan. Terlalu lama aku ingin didengar, namun yang kudapat justru selalu harus mendengar.



Ya, Rina itu bukan untuk dimengerti, biarkan saja dan ingatkan dia.



Penuh cinta, di awal bulan penghujung tahun 2012
1 Desember 2012
Rina